WahanaNews-Kaltara | Facebook mengklaim konten ujaran kebencian alias hate speech turun drastis dalam tiga bulan terakhir.
Facebook mengklaim penurunan prevalensi hampir 50% selama beberapa kuartal terakhir. Ujaran kebencian hanya menyumbang sekitar 0,05% dari konten yang dilihat penggunanya. Ini berarti hanya sekitar 5 akun yang melihat untuk setiap 10.000 akun pengguna.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Facebook sendiri berfokus pada prevalensi ujaran kebencian yang digambarkan sebagai konten yang benar-benar dilihat pengguna bukan jumlah total konten bermasalah yang ditemukan di platformnya.
Platform besutan Mark Zuckerberg ini juga mengatakan secara proaktif menggunakan berbagai teknologi untuk mendeteksi konten bermasalah dan mengirimkannya ke verifikator atau yang mengulas konten tersebut untuk kemudian dihapus.
Pernyataan tersebut datang dari VP of Integrity Facebook Guy Rosen yang secara khusus mengangkat berita terkait rilis konten yang bocor oleh The Wall Street Journal.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Ia mengatakan dokumen yang bocor tersebut digunakan untuk membuat teknologi yang akan memerangi ujaran kebencian.
"Kami tidak ingin melihat kebencian di platform kami, begitu pula pengguna atau pengiklan kami, dan kami transparan tentang pekerjaan kami untuk menghapusnya. Apa yang ditunjukkan oleh dokumen-dokumen ini adalah bahwa pekerjaan integritas kami adalah perjalanan multi-tahun. Meskipun kami tidak akan pernah sempurna, tim kami terus bekerja untuk mengembangkan sistem kami, mengidentifikasi masalah, dan membangun solusi," kata Rosen sebagaimana dikutip dari Slashgear, Selasa (19/10/2021).
Ia juga menambahkan prevalensi ujaran kebencian di platform Facebook adalah metrik yang paling penting. Ia secara khusus menyebutkan ambang batas yang tinggi dalam menghapus konten secara otomatis.
"Kami memiliki ambang batas yang tinggi untuk menghapus konten secara otomatis. Jika tidak, kami berisiko membuat lebih banyak kesalahan pada konten yang terlihat seperti ujaran kebencian tetapi sebenarnya tidak, merugikan orang yang kami coba lindungi, seperti mereka yang menggambarkan pengalaman dengan ujaran kebencian atau mengutuknya," ujarnya. [non]