WahanaNews-Kaltara | Tiga jenderal masuk dalam bursa Calon Presiden (Capres) pilihan masyarakat jika Pemilu digelar saat ini.
Tiga jenderal itu di antaranya adalah Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Baca Juga:
Berdebat Soal Hak Angket Pemilu, Demokrat Siap Pasang Badan
Ketiganya masuk dalam bursa Capres berdasarkan Survei Litbang Kompas pada 17-30 Januari 2022.
Dilansir dari Kompas.com, Prabowo Subianto yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra menempati posisi teratas dalam elektabilitas Capres dengan 26,5 persen.
Sementara, Andika Perkasa berada pada posisi 9 dengan perolehan 2 persen, dan Gatot Nurmantyo menyusul di bawahnya dengan 1,4 persen.
Baca Juga:
Buntut Dugaan Penghinaan Capres 02, Benny Rhamdani Dilaporkan ke Polda Sulut
Bursa Capres dari berlatar belakang militer sebenarnya bukan hanya ketiga nama di atas.
Ada nama Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang berada di posisi lima elektabilitas Capres dengan 3,7 persen.
Lantas muncul pertanyaan, masih kuatkah Capres berlatar militer pada saat ini?
Bila melihat hasil survei tersebut, di mana tiga jenderal masuk ke dalam bursa Capres, bukan berarti publik masih mendambakan ingin dipimpin kembali oleh orang berlatar belakang militer.
Analis politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, survei itu justru menggambarkan bahwa preferensi masyarakat terhadap sosok Capres tak lagi melulu berlatar militer.
"Nah, jadi poinnya, pemilih itu berubah. Orang enggak akan lihat lagi atribusi militer sebagai preferensi utama. Makanya, tokoh-tokoh berlatar militer seperti Mas AHY yang baru itu rendah. Lalu Pak Gatot enggak sampai 2 persen, begitu juga Pak Andika 2 persen," kata Arya, saat dihubungi wartawan, Kamis (24/2/2022).
Sementara itu, sorotan publik saat ini justru kepada tokoh-tokoh yang bukan berlatar militer.
Oleh karena itu, Arya melihat tokoh-tokoh kepala daerah dari sipil, justru memuncaki posisi atas elektabilitas survei.
Ia mencontohkan, bagaimana Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, bersaing memuncaki posisi atas pada beberapa survei nasional.
"Jadi memang bukan melulu soal publik inginkan capres berlatar militer. Enggak juga. Karena yang tinggi itu kan Pak Ganjar dari sipil, Pak Anies sipil, Ridwan Kamil sipil," ujarnya.
Terkait nama Prabowo yang memuncaki elektabilitas dalam Survei Litbang Kompas, Arya berpendapat bahwa hal tersebut bukan lantaran latar belakang militernya.
Menurut dia, tingginya elektabilitas Prabowo disebabkan karena pengalamannya dalam kontestasi politik, utamanya Pemilihan Presiden (Pilpres).
Prabowo yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra itu justru mendapatkan suara dominan, hasil dari basis-basis pendukung pada pemilu sebelumnya.
Diketahui, Prabowo sudah tiga kali gagal memenangkan kontestasi Pilpres dalam kurun tiga Pemilu terakhir.
"Nah itu lebih kepada faktor bahwa ada pemilih-pemilih yang memang sejak pemilu sebelumnya. Itu sisa-sisa kekuatan Pak Prabowo di 2014, mungkin sejak 2009 ketika berpasangan dengan Ibu Mega," imbuh Arya.
Selain itu, Prabowo juga dinilai mampu membangun investasi politiknya sejak lama.
Sehingga dukungan dari masyarakat terhadap dirinya pun ikut meningkat.
Arya menjelaskan, Prabowo bahkan sudah membangun investasi politiknya sejak 2004 ketika ikut konvensi Partai Golkar.
"Dia masuk konvensi Golkar, meski dia kalah kan? 2009 pasangan sama Bu Mega sebagai wakil kalah, 2014 maju sendiri, 2019 dia kalah juga. Dia sudah ikut 4 kali kontestasi," tuturnya.
"Nah, jadi bukan karena dia tinggi karena orang dukung militer. Enggak, dia tinggi karena punya investasi politik lama. Karena dia punya pemilih, sisa-sisa pemilih lama," sambung Arya. [Ss]