Kaltara. WahanaNews.co - Masyarakat pedalaman Kalimantan Utara tengah berduka. Agustus yang biasanya identik dengan musim tanam padi ladang, berubah menjadi petaka. Betapa tidak, hujan yang terus-menerus mengguyur sejak beberapa hari ini menyebabkan sungai-sungai besar meluap.
Masyarakat Data Dian, Kecamatan Kayan, Kabupaten Malinau, merasakan dampak banjir Agustus ini. Sungai Kayan yang melintas di pinggir desa telah meluap dan airnya masuk ke permukiman.
Baca Juga:
16 Desa di Aceh Barat Terendam Banjir, Air Capai 50 Sentimeter
“Terparah kondisinya di RT 2, ada sekitar 20 rumah yang tepat di pinggir sungai terendam banjir, rata-rata ketinggian air mencapai 1 meter,” kata Trim Ifung, Kepala Desa Data Dian, Minggu.
Banjir yang melanda Data Dian saat ini tergolong sangat parah. Sejatinya Desa Data Dian jauh di atas bibir sungai. Lebih dari 4 meter pada saat ketinggian air sungai normal.
Terakhir banjir besar seperti ini tahun 2000.
Baca Juga:
BPBA Lapor Dua Desa di Aceh Jaya Terendam Banjir Setinggi 1,2 Meter
Warga Desa Data Dian yang dihuni oleh Suku Kayan itu memang telah mengantisipasi naiknya muka air sungai dengan membuat rumah panggung sebagaimana diwariskan leluhur. Selain mengantisipasi banjir juga mencegah serangan binatang buas. Rumah dibangun dengan ketinggian 1-1,5 meter dari permukaan tanah.
Namun sebagian rumah di desain bagian dapurnya lebih rendah sehingga dapur ini yang terendam ketika Sungai Kayan meluap hingga ketinggian 1 meter di dalam permukiman warga.
Tidak hanya merendam permukiman warga, meluapnya Sungai Kayan dan Sungai Iwan yang merupakan anak Sungai Kayan juga berdampak pada ladang masyarakat Data Dian yang sedang dalam proses menanam padi ladang.
Dari 116 keluarga Desa Data Dian lebih dari 50 keluarga berladang tepat di pinggir Sungai Iwan dan Sungai Kayan. Data Dian memulai musim tanam serentak pada 19 Agustus setiap tahunnya. Setelah masing-masing keluarga memulai musim tanam, dilanjutkan dengan gotong royong untuk menyelesaikan seluruh lahan perladangan ditanami padi.
“Kami sedang bergotong royong menyelesaikan masa tanam padi, tapi hujan deras yang turun beberapa hari ini, kita tidak bisa ke ladang, dan sayangnya lagi yang sudah selesai ditanam juga terendam banjir,” kata Trim.
Tahun lalu, warga berladang di seberang perkampungan. Selesai panen bulan Februari lalu, warga menyepakati untuk ladang 2023 dibuat di pinggir Sungai Iwan, agak ke wilayah hulu.
Dulu, pinggir Sungai Iwan adalah perkampungan Suku Kayak Umak Leken. Hanya, sejak terbentuk Desa Data Dian, warga di Sungai Iwan bergabung ke Data Dian. Dengan jarak tempuh satu jam naik ketinting ke arah hulu.
Sejauh ini warga desa belum mengambil sikap dengan ladang yang terendam tersebut. Mereka masih fokus berjaga meluapnya air di permukiman. Mengulang ladang kembali cukup berat untuk dilakukan, mengingat proses penyiapan lahan untuk menanam padi ini cukup panjang.
Anomali cuaca yang terjadi juga berdampak kepada masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Malinau. Di Desa Metut, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, misalnya. Mereka belum bisa mempersiapkan musim tanam yang akan dimulai September depan.
“Kami sudah mempersiapkan ladang untuk menanam padi sejak bulan Juni. Kami sudah menebas, menunggu saat yang tepat untuk membakar, tapi itu belum bisa dilakukan karena hujan terus. Biasanya kita persiapan ladangnya selesai di Agustus sehingga September mulai bertanam,” kata Kamilus, Kepala Desa Metut.
Kebingungan warga dengan siklus musim yang tidak bisa diprediksi lagi. Akan tetapi musim tidak lagi sama dan penyiapan ladang pun tidak selesai.
“Kami bingung dengan kondisi yang seperti ini,” kata Kamilus.
Dari 95 keluarga di Metut, baru dua keluarga yang ladangnya bisa ditanami pada September nanti. Hal ini karena dua keluarga ini sudah lebih awal mempersiapkan ladang.
Anomali cuaca yang membingungkan petani dan menimbulkan petaka banjir di banyak tempat di Kalimantan ditengarai sebagai dampak dari perubahan iklim yang melanda dunia.
Saat ini perubahan iklim dan dampaknya itu tidak lagi menjadi pembicaraan di forum-forum internasional.
Warga desa yang jauh di pedalaman pun sudah merasakan dampaknya.
Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, menyatakan saat di Jakarta orang membicarakan polusi sangat tinggi, dengan hujan yang tidak turun sejak 2 bulan terakhir ini, sedangkan di Kalimantan situasinya malah kebanjiran dan hujan yang turun terus menerus.
Bagi warga pedalaman yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam, perubahan-perubahan ini berdampak besar pada kehidupan. Menanam padi yang hanya dilakukan sekali setahun untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai satu tahun berikutnya. Tidak ada sumber pangan lain selain padi sekali setahun ini.
Jika gagal panen pada tahun depan akibat terendam banjir, bisa dipastikan sumber pangan untuk tahun depan terancam.
Warga Desa Data Dian, misalnya, aksesnya sangat sulit, hanya bisa dengan menggunakan pesawat perintis dari ibu kota kabupaten. Jika terjadi gagal panen, masyarakat akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Selama ini masyarakat mandiri pangan, walau hanya sekali setahun bertanam padi hasilnya cukup sampai tahun depan. Akan tetapi kalau ladangnya yang terganggu, keterancaman panen tahun depan sudah di depan mata.
Jadi, ancaman perubahan iklim itu nyata sudah menyentuh lapisan kehidupan masyarakat. Masyarakat yang berada di pedalaman yang jauh dari akses juga sangat terdampak. Untuk itu, sangat penting adanya komitmen bersama untuk melindungi Bumi.
“Harus ada upaya dari semua pihak untuk melindungi Bumi. Jika tidak maka kita semua yang akan semakin sulit di masa yang akan datang,” pungkas Reni.
Adapun Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara melakukan percepatan konservasi kolaboratif lahan gambut dan bakau dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
“Supaya penurunan emisi gas rumah kaca, dalam rangka memerangi perubahan iklim dan pemanasan global, dapat kita capai,” kata Gubernur Kaltara Zainal A. Paliwang.
Pada 21 Juli 2023 Pemprov melalui Gubernur Zainal A. Paliwang meneken kesepakatan bersama dengan salah satu perusahaan yang bergerak pada sektor tata kelola restorasi dan konservasi.
Kerja sama ini menitikberatkan pada dua hal yaitu konservasi serta restorasi dalam rangka perdagangan karbon sekaligus mitigasi perubahan iklim; dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat lokal dan masyarakat adat.
Kerja sama ini tidak mengambil lahan dan atau memerlukan dokumen perizinan Pemerintah, melainkan pada upaya peningkatan tata kelola lahan yang sudah ada serta peningkatan upaya restorasi.
Berdasarkan rencana kerja FOLU Net SINK Sub Nasional Provinsi Kalimantan Utara, luas kawasan mangrove daerah ini mencapai 262.318,75 hektare.
Adapun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 129/MENLHK/Sekjen/PKTL.0/2/2017, luas kesatuan hidrologis gambut di Kalimantan Utara mencapai 347.541 hektare.
Indonesia's FOLU Net Sink adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai dengan tingkat serapan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dilepas.
Secara garis besar, kerja sama dilakukan untuk memperkuat tata kelola restorasi dan konservasi kolaboratif juga meningkatkan alternatif berkelanjutan proyek mata pencaharian untuk masyarakat lokal.
Selain itu, dituturkan Wakil Gubernur Kalimantan Utara, Yansen TP, Pemprov Kalimantan Utara mengurangi dan mencegah emisi karbon melalui aksi penguatan kelembagaan Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+) bekerja sama Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Semua pihak harus mengawasi dan mencegah kerusakan lingkungan dan emisi karbon,” ujar Yansen TP.
REDD+ adalah upaya dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan insentif kepada negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.
Penguatan Arsitektur Kelembagaan REDD+ oleh Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian LHK, telah dilaksanakan pada 1 Agustus 2023 di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan.
Pertemuan itu bertujuan untuk memastikan hak dan kewajiban yang harus diperjuangkan, agar lingkungan dapat terjaga dengan baik.
Selain itu, juga membahas penguatan kelembagaan REDD+ dan perkembangan lingkungan di Kalimantan Utara. Tujuannya untuk azas manfaat demi keberlangsungan hidup masyarakat dan partisipasi pembangunan di daerah.
Kegiatan ini dalam rangka mendukung Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca.
Pemprov Kalimantan Utara sejauh ini sudah membentuk tim pokja berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 18844/k.118/2023 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penurunan Emisi dari Kegiatan Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus Provinsi Kalimantan Utara.
Ia minta para aktivis yang bergerak di bidang lingkungan supaya bersama-sama mengambil peran dan ikut bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan.
Dikutip dari Sistem Informasi Data Statistik Sektor Provinsi Kalimantan Utara 2021, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (THGK) SK.718/Menhut-II/2014; Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor: SK. 8106/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018, luas hutan di Kalimantan Utara mencapai 7.059.251,19 hekatare, dengan rincian, terluas di Kabupaten Malinau yang mencapai 3.960.966,22 hektare. Disusul Kabupaten Bulungan 1.378.283,54 hektare, Kabupaten Nunukan 1.354.350,62 hektare, Kabupaten Tana Tidung 341.299,19 hektare, dan Kota Tarakan 24.351,61 hektare.
Dari luasan tersebut, berdasarkan fungsinya terdapat 1.272.091 hektare hutan konservasi (suaka alam dan pelestarian alam) dengan rincian 988.017,02 hektare di Kabupaten Malinau dan 284.073,98 hektare di Kabupaten Nunukan.
Adapun hutan lindung luasnya mencapai 1.059.764,11 hektare dengan rincian 696.642,58 hektare di Kabupaten Malinau, 205.594,03 hektare di Kabupaten Bulungan, 150.459,78 di Kabupaten Nunukan, dan 7.067,72 hektare di Kota Tarakan. Di Kabupaten Tana Tidung tidak terdapat hutan lindung.
Selanjutnya, hutan produksi seluas 3.325.265,03 hektare, dibagi menjadi hutan produksi terbatas (HPT) seluas 2.189.788,2 hektare dengan rincian 1.545.892,31 hektare di Kabupaten Malinau; 465.097,91 hektare di Kabupaten Bulungan; 9.084,28 di Kabupaten Tana Tidung; dan 169.713,7 hektare di Kabupaten Nunukan.
Kemudian hutan produksi kategori hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) mencapai 60.047,74 hektare. Rincinya, terdapat 30.174,11 hektare di Kabupaten Malinau; 5.596,71 di Kabupaten Bulungan; 9.678,05 di Kabupaten Tana Tidung; dan di Kabupaten Nunukan seluas 14.598,87 hektare.
Adapun hutan produksi kategori hutan produksi tetap (HP) mencapai luasan 1.075.429,09 hektare. HPT terluas di Kabupaten Malinau, seluas 375.548,72 hektare. Kemudian di Kabupaten Nunukan 274.082,76 hektare, lalu disusul Kabupaten Bulungan seluas 272.791,71 hektare, dan di Kabupaten Tana Tidung seluas 153.005,9 hektare.
Adapun areal penggunaan lain (APL) di Kalimantan Utara mencapai 1.402.131,05 hektare berdasarkan SK.718/Menhut-II/2014; SK. 8106/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 ; dan SK MENLHK 6631/2021.
Semua ikhtiar yang dijalankan Pemprov Kaltara bersama aktivis lingkungan serta masyarakat tersebut demi menjaga masa depan Bumi beserta spesies yang hidup di dalamnya.
Banjir besar yang melanda Desa Data Dian pada musim kemarau itu kian menegaskan bahwa bencana yang dipicu oleh perubahan iklim bukan sesuatu yang "akan terjadi", melainkan memang sudah terjadi.[ss]