Oleh HASAN SADELI
Baca Juga:
Demi Jaga Kedaulatan Bangsa, Alutsista Terbaik Siaga di Natuna
KEBUDAYAAN leluhur bangsa Indonesia adalah kebudayaan yang mencirikan suatu keragaman.
Dalam hal profesi atau mata pencaharian pun tidak homogen.
Baca Juga:
Tanamkan Cinta Tanah Air, Dandim 0203/Langkat Edukasi Wawasan Kebangsaan
Nenek moyang kita selain seorang pelaut, juga seorang petani.
Artinya, kita memang bangsa agraris selain bangsa maritim.
Leluhur kita telah melaut sejak ratusan tahun silam.
Leluhur kita juga sudah menerapkan pola bercocok tanam sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam.
Keragaman budaya leluhur sudah selayaknya membuat kita beranjak dari pemikiran dikotomis, khususnya mengenai cara pandang kita tentang dua kebudayaan besar, yakni agraris dan maritim.
Budaya agaris maupun budaya maritim, keduanya menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan sebagai identitas yang saling terintegasi dan mengakar dalam riwayat panjang perjalanan bangsa Indonesia.
Meskipun laut sempat dinomorsekiankan dalam implementasi kebijakan pemerintah dalam waktu yang lama, tetapi hal tersebut jangan sampai membuat kita menihilkan atau mengkritik kebudayaan agraris, dan meletakannya sebagai bidang yang berseberangan dengan budaya maritim.
Dan lagi, sekarang masanya sudah berbeda.
Masa pemerintahan saat ini justru berusaha menghidupkan budaya bahari sebagai bagian penting program pembangunan nasional jangka panjang.
Karena itu, apabila ada kritik yang dialamatkan terhadap pemerintah menyangkut sikap abai terhadap bidang kemaritiman, jelas salah alamat.
Atau sekurang-kurangya si pengkritik kurang update tentang berbagai upaya yang telah dan akan dilakukan pemerintah di bidang kemaritiman.
Pembahasan tentang pengkotakan agraris-maritim perlu kita hentikan.
Pandangan dikotomis itu tidak lagi relevan, dunia maritim tidak lagi dipinggirkan, karena sejak bertahun-tahun lalu, pemerintah sudah mengarahkan fokus pada upaya membangun kembali budaya maritim Indonesia.
Bukan Sekadar Slogan
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sedemikian menaruh perhatian dan minat serius terhadap sektor kemaritiman.
Bahkan dapat dikatakan jika popularitas kata “maritim” menjadi semakin menanjak di era pemerintahan saat ini.
Sektor kemaritiman telah diletakkan sebagai sektor yang menjadi akselerator ekonomi nasional.
Presiden Joko Widodo menginginkan Indonesia mengokohkan identitas sebagai bangsa maritim yang tidak sekadar slogan semata, melainkan dibuktikan dengan segenap kerja nyata.
Dalam konteks ekonomi sebenarnya Indonesia belum sepenuhnya bertumpu pada ekonomi maritim.
Dalam hal koneksi perdagangan maritim, misalnya, kita masih kalah oleh negara tetangga seperti Singapura.
Akan tetapi, Presiden Joko Widodo selalu menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah surut dalam berupaya mengimplementasikan berbagai kebijakan bidang maritim, dengan mengajak peran aktif berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah.
Untuk mengoptimalkan berbagai program kerja bidang kemaritiman, diperlukan adanya sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama daerah kepulauan atau daerah pesisir.
Sinergi
Saat ini, geliat pembangunan di daerah kepulauan dan pesisir harus diarahkan pada optimalisasi potensi sektor kelautan dan kemaritiman.
Misalnya, dalam sektor perikanan, pariwisata, dan konektivitas antarpulau melalui pendirian pelabuhan.
Label daerah pinggiran yang selama ini melekat bagi daerah pesisir juga sudah diganti dengan label daerah terdepan.
Perubahan “nomenklatur” ini selaras dengan peran penting daerah kepulauan dan pesisir dalam memajukan ekonomi nasional.
Dalam suatu kesempatan, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin, meminta seluruh pemerintah daerah di kawasan kepulauan dan pesisir, agar memberdayakan potensi maritimnya untuk mewujudkan pemerataan pembangunan ekonomi Indonesia.
Wapres mengemukakan hal ini melalui konferensi video saat acara Musyawarah Nasional II Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Indonesia (Aspekindo).
Acara Munas II daerah kepulaun sendiri berlangsung di atas KRI Semarang-594, tepatnya di perairan Provinsi Bangka Belitung.
Kehadiran Aspekindo diharapkan mampu meningkatkan peran serta daerah kepulauan dan pesisir dalam menopang kebijakan maritim nasional.
Sekaligus sebagai simbol keterpaduan dan kesamaan sikap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memajukan sektor maritim sebagai katalisator terpenting pembangunan nasional.
Sinergi ini haruslah dipandang sebagai langkah positif bagi berjalannya prinsip pembangunan yang dilandasi nilai-nilai kebudayaan bahari.
Terlebih, jika Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan disahkan menjadi Undang-undang, maka akan ada payung hukum bagi daerah kepulauan di Indonesia, untuk menerapkan program kebijakan dengan pendekatan dan paradigma yang sesuai karakteristik daerah kepulauan yang dianggap belum terakomodasi dalam UU Nomor 23 Tahun 2014.
Penguatan Budaya
Di lain sisi, ada satu hal yang sangat penting dan tidak dapat dianaktirikan ialah perlunya meluaskan persepsi kita tentang penguatan budaya maritim yang tidak selalu dikhotbahkan dengan ide-ide ekonomi maritim.
Sebab, bidang kemaritiman juga terkait dengan kedaulatan negara dan lebih luas lagi menyangkut cara berfikir kita tentang konstruksi sosial mengenai kesadaran ruang tempat di mana kita hidup.
Karena itu, penguatan identitas budaya maritim harus dengan pendekatan interdisipliner, baik dalam aspek budaya, sosial, politik, hingga menjangkau kurikulum pendidikan kita, utamanya pada mata pelajaran sejarah.
Hal ini karena pembahasan mengenai aspek sejarah maritim dalam buku sejarah kita masih benar-benar minim.
Padahal, memberikan wawasan sejak dini mengenai kebudayaan maritim bangsa Indonesia kepada generasi muda, akan berpengaruh signifikan dalam membentuk kesadaran identitas sebagai bangsa maritim. (Hasan Sadeli, Pemerhati Sejarah Maritim)-Ass
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Sinergi Pusat-Daerah dalam Spirit Kemaritiman”. Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/11/19/20341411/sinergi-pusat-daerah-dalam-spirit-kemaritiman.