WahanaNews-Kaltara | PT PLN (Persero) secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan program konversi Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke kompor induksi atau kompor listrik batal dijalankan. Hal ini menyambut perkataan dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menunda pelaksanaan konversi pada tahun 2022 ini.
PLN beralasan, pembatalan program tersebut untuk menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Sebagaimana diketahui, bahwa program kompor listrik merupakan upaya PLN untuk menyerap lebih banyak aliran listrik yang saat ini sedang mengalami over suplai atau kelebihan listrik. Nah, dengan batalnya program ini, tentunya PLN akan kembali menanggung over suplai listrik tersebut.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa dalam kontrak jual beli listrik dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP), PLN menggunakan skema 'Take or Pay' (TOP). Maksudnya, PLN harus mengambil pasokan listrik dari pengembang sesuai dengan jumlah yang tertuang di dalam kontrak. Bila tidak diambil, maka PLN akan dikenakan sanksi atau membayar penaltinya.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana bahkan menyebut, hingga akhir tahun ini kelebihan pasokan listrik PLN mencapai 6 Giga Watt (GW). "6 GW (over supply listrik) kalau akhir tahun ini, yang tahu persis kan di PLN," ungkapnya.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Menurut Rida, kondisi kelebihan pasokan listrik tersebut terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Namun kebanyakan terjadi di Pulau Jawa.
Seperti diketahui, PT PLN (Persero) terikat perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) dengan pengembang listrik swasta (IPP), khususnya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Dalam kontrak jual beli ini, salah satu yang diatur adalah mengenai denda. PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak, atau biasa disebut skema 'Take or Pay' (TOP).