Selain itu, terkait dengan pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar dalam DPT atau DPTB, namun mendapatkan hak pilih, juga bisa menjadi sebab dilakukan PSU.
"Selain itu, di pasal 373 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pemungutan suara ulang. Jadi faktornya itu, satu, pemungutan suara ulang itu diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan tertentu yang menyebabkan perlu-nya dilakukan PSU," imbuhnya.
Baca Juga:
KPU DKI Jakarta Temukan 51.234 Surat Suara Kurang dan Rusak untuk Pilgub 2024
Tak kalah penting, Yahya mengatakan sesuai ketentuan aturan pemungutan suara ulang dilakukan paling lama 10 hari setelah pemungutan suara. Ia pun mengingatkan jika pelaksanaan PSU hanya boleh dilakukan satu kali.
"Jadi kalau kita pemungutan tanggal 14 tambah 10 hari, berarti paling lama tanggal 24. Artinya PSU tidak apa melakukan lagi pemungutan suara ulang. Nah itu tidak boleh. Hanya satu kali saja," kata Yahya.
Karena itu, Yahya berpesan kepada Bawaslu bahwa ketika sudah memutuskan rekomendasi untuk dilakukan PSU, maka Bawaslu harus mengawasi proses pemungutan suara ulang secara ketat.
Baca Juga:
KPU Singkawang Terima Logistik untuk Kebutuhan Pilkada Serentak Tahun 2024
"Jadi jangan sampai PSU itu justru menjadi ruang-ruang baru bagi para yang berkompetisi ini untuk melanggar undang-undang. Itu saya kira yang paling penting. Jadi Bawaslu harus komitmen dan konsekuen untuk betul-betul melakukan pengawasan yang ekstra ketat dibanding yang sebelumnya," katanya.
Menurutnya, pengawasan pelaksanaan pemungutan suara ulang secara ketat wajib dilakukan sebab rawan terjadi mobilisasi pemilih. Sebab, momentum pelaksanaan PSU bisa menjadi kesempatan bagi para kandidat untuk mengejar ketertinggalan suara.
[Redaktur: Patria Simorangkir]